Pagi hari saat aku terbangun
tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. Aku melihat keluar. Ivan
temanku sudah menunggu diluar rumah kakekku dia mengajakku untuk bermain
bola basket.“Ayo kita bermain basket ke lapangan.” ajaknya padaku. “Sekarang?”
tanyaku dengan sedikit mengantuk. “Besok! Ya sekarang!” jawabnya dengan
kesal.“Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!”, “Iya tapi cepat ya”
pintanya.Setelah aku cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan yang tidak
begitu jauh dari rumah kakekku.“Wah dingin ya.” kataku pada temanku. “Cuma
begini aja dingin payah kamu.” jawabnya.Setelah sampai di lapangan ternyata
sudah ramai. “Ramai sekali pulang aja males nih kalau ramai.” ajakku padanya.
“Ah! Dasarnya kamu aja males ngajak pulang!”, “Kita ikut main saja dengan
orang-orang disini.” paksanya. “Males ah! Kamu aja sana aku tunggu disini nanti
aku nyusul.” jawabku malas. “Terserah kamu aja deh.” jawabnya sambil berlari
kearah orang-orang yang sedang bermain basket.“Ano!” seseorang teriak memanggil
namaku. Aku langsung mencari siapa yang memanggilku. Tiba-tiba seorang gadis
menghampiriku dengan tersenyum manis. Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia
mendekat aku baru ingat. “Bella?” tanya dalam hati penuh keheranan. Bella
adalah teman satu SD denganku dulu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak
kami lulus 3 tahun lalu.
Bukan hanya itu Bella juga pindah ke Bandung
ikut orang tuanya yang bekerja disana. “Hai masih ingat aku nggak?” tanyanya
padaku. “Bella kan?” tanyaku padanya. “Yupz!” jawabnya sambil tersenyum padaku.
Setelah kami ngobrol tentang kabarnya aku pun memanggil Ivan. “Van! Sini”
panggilku pada Ivan yang sedang asyik bermain basket. “Apa lagi?” tanyanya
padaku dengan malas.
“Ada yang dateng” jawabku. “Siapa?”tanyanya
lagi, “Bella!” jawabku dengan sedikit teriak karena di lapangan sangat berisik.
“Siapa? Nggak kedengeran!”. “Sini dulu aja pasti kamu seneng!”. Akhirnya Ivan
pun datang menghampiri aku dan Bella.Dengan heran ia melihat kearah kami.
Ketika ia sampai dia heran melihat Bella yang tiba-tiba menyapanya. “Bela?”
tanyanya sedikit kaget melihat Bella yang sedikit berubah. “Kenapa kok tumben
ke Jogja? Kangen ya sama aku?” tanya Ivan pada Bela. “Ye GR! Dia tu kesini mau
ketemu aku” jawabku sambil menatap wajah Bela yang sudah berbeda dari 3 tahun
lalu. “Bukan aku kesini mau jenguk nenekku.” jawabnya. “Yah nggak kangen dong
sama kita.” tanya Ivan sedikit lemas.“Ya kangen dong kalian kan sahabat ku.” jawabnya
dengan senyumnya yang manis.Akhinya Bella mengajak kami kerumah neneknya. Kami
berdua langsung setuju dengan ajakan Bela. Ketika kami sampai di rumah Bela ada
seorang anak laki-laki yang kira-kira masih berumur 4 tahun. “Bell, ini siapa?”
tanyaku kepadanya. “Kamu lupa ya ini kan Dafa! Adikku.” jawabnya. “Oh iya aku
lupa! Sekarang udah besar ya.”. “Dasar pikun!” ejek Ivan padaku. “Emangnya kamu
inget tadi?” tanyaku pada Ivan. “Nggak sih!” jawabnya malu. “Ye sama
aja!”. “Biarin aja!”. “Udah-udah jangan pada ribut terus.” Bella keluar dari
rumah membawa minuman. “Eh nanti sore kalian mau nganterin aku ke mall
nggak?” tanyanya pada kami berdua. “Kalau aku jelas mau dong! Kalau Ivan
tau!” jawabku tanpa pikir panjang. “Ye kalau buat Bella aja langsung mau, tapi
kalau aku yang ajak susah banget.” ejek Ivan padaku. “Maaf banget Bell, aku
nggak bisa aku ada latihan nge-band.” jawabnya kepada Bella.“Oh gitu ya! Ya udah no nanti kamu kerumahku jam
4 sore ya!” kata Bella padaku. “Ok deh!” jawabku cepat.Saat yang aku tunggu
udah dateng, setelah dandan biar bikin Bella terkesan dan pamit keorang tuaku
aku langsung berangkat ke rumah nenek Bella. Sampai dirumah Bella aku mengetuk
pintu dan mengucap salam ibu Bella pun keluar dan mempersilahkan aku masuk. “Eh
ano sini masuk dulu! Bellanya baru siap-siap.” kata beliau ramah. “Iya tante!”
jawabku sambil masuk kedalam rumah. Ibu Bella tante Vivi memang sudah kenal
padaku karena aku memang sering main kerumah Bella. “Bella ini Ano udah dateng”
panggil tante Vivi kepada Bella. “Iya ma bentar lagi” teriak Bella dari
kamarnya. Setelah selesai siap-siap Bella keluar dari kamar, aku terpesona
melihatnya. “Udah siap ayo berangkat!” ajaknya padaku.Setelah pamit untuk pergi
aku dan Bella pun langsung berangkat.Dari tadi pandanganku tak pernah lepas dari
Bella. “Ano kenapa? Kok dari tadi ngeliatin aku terus ada yang aneh?” tanyanya
kepadaku. “Eh nggak apa-apa kok!” jawabku kaget.Kami pun sampai di tempat
tujuan. Kami naik ke lantai atas untuk mencari barang-barang yang diperlukan
Bella. Setelah selesai mencari-cari barang yang diperlukan Bella kami pun
memtuskan untuk langsung pulang kerumah.Sampai dirumah Bella aku disuruh mampir oleh
tante Vivi. “Ayo Ano mampir dulu pasti capek kan?” ajak tante Vivi padaku. “Ya
tante.” jawabku pada tante Vivi.Setelah waktu kurasa sudah malam aku meminta
ijin pulang. Sampai dirumah aku langsung masuk kekamar untuk ganti baju.
Setelah aku ganti baju aku makan malam.“Kemana aja tadi sama Bella?” tanya ibuku
padaku. “Dari jalan-jalan!” jawabku sambil melanjutkan makan. Selesai makan aku
langsung menuju kekamar untuk tidur. Tetapi aku terus memikirkan Bella. Kayanya
aku suka deh sama Bella. “Nggak! Nggak boleh aku masih kelas 3 SMP, aku masih
harus belajar.” bisikku dalam hati.Satu minggu berlalu, aku masih tetap kepikiran
Bella terus. Akhirnya sore harinya Bella harus kembali ke Bandung lagi. Aku dan
Ivan datang kerumah Bella.Akhirnya keluarga Bella siap untuk berangkat.
Pada saat itu aku mengatakan kalau aku suka pada Bella.“Bella aku suka kamu!
Kamu mau nggak kamu jadi pacarku” kataku gugup.“Maaf ano aku nggak bisa kita
masih kecil!” jawabnya padaku. “Kita lebih baik Sahabatan kaya dulu lagi
aja!”Aku memberinya hadiah kenang-kenangan untuknya sebuah kalung. Dan akhirnya
Bella dan keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit kecewa aku tetap
merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bella. Aku berharap persahabatan kami
terus berjalan hingga nanti.
2. Dua Wajah Ibu
Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu. Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.
Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal. Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar, kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik, menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun.
Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam jamur kuping yang mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya.
Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak pernah pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap diceritakan orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang sangat asing, aneh, dan begitu menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan kampung karibnya, lepas perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis mereka. Sesuatu yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis, serba tak bisa ia bayangkan.
”Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak,” itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya.
”Dengan siapa Mak ke situ?” lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika di dada Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat Jakarta. Ibu kota yang telah dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan ke sana, walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua gadisnya yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota itu. Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu Jamal memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya.
”Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak dululah. Nanti, bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan ongkos Emak ke sini,” itulah janji anak lanangnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok seperti radio tua itu terputus.
Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta, di semak-belukar kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya.
***
Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata lamurnya menggerayangi terminal bus Kampung Rambutan. Sedetik kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya itu: Kota bacin dan berbau pesing. Hidung tuanya demikian menderita ketika membaui bau tak sedap itu. Hatinya bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian menikmati bau itu. Hidung pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja mengembang-embang, seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu tercium melati.
Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas di bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus reot yang berjalan macam keong, beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya dan Kurti, macam lalat, berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya. Cupingnya pun ikut pening dengan orang-orang yang berbicara tak jelas pada Kurti, gadis itu diam tak menggubris, hanya menyeret Mak Inang pergi.
Mak Inang kembali memeras beberapa popok yang ia cuci, sekaligus. Telapak kaki kanannya yang kapalan cepat-cepat menampari betis kirinya begitu beberapa nyamuk membabi-buta di kulit keringnya. Ia menghempaskan popok yang sudah diperasnya itu ke dalam ember plastik. Jemari tangannya menggaruk-garuk betis kirinya. Bentol-bentol sebesar biji petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia menggeram. Hatinya menyumpah-serapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu.
Dua-tiga hari pertama, Mak Inang cukup senang berada di rumah berdinding batu setengah triplek Jamal. Rasa senangnya itu bersumber dari cucu bujangnya yang masih merah itu. Walau, sesungguhnya Mak Inang terkaget-kaget saat Kurti mengantarnya ke rumah Jamal. Semua di luar otak tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih, Jamal berada di rumah-rumah beton yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah kecil sepengap ini. Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di subuh buta. Hanya ada satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu. Itu pun baunya sangat memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya.
”Mak hendak pulang, Mal. Sudah seminggu, nanti pisang Emak ditebang orang, karet pun sayang tak disadap,” lontar Mak Inang di pagi yang tak bisa ia tahan lagi. Ia benar-benar tak ingin berlama-lama di ibu kota yang sungguh aneh baginya. Sesungguhnya, Mak Inang pun aneh dengan orang-orang yang saban hari, saban minggu, saban bulan, dan saban tahun datang mengadu nasib ke kota ini. Apa yang mereka cari di rimba bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi kucing ini? Mak Inang tak bisa menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban.
”Akhir bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir bulan, sekarang tengah bulan. Tak bisa. Pabrik juga tengah banyak order, belum bisa aku kawani Mak jalan-jalan mutar Jakarta,” ujar Jamal sembari menyeruput kopi hitam dan mengunyah rebusan singkong. Singkong yang Mak Inang bawa seminggu silam. Mak Inang tak bersuara. Hatinya terasa terperas dengan rasa yang kian membuatnya tak nyaman.
”Kurti libur hari ini, Mak. Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya. Nanti kuminta ia mengawani Mak jalan-jalan. Ke mal, ke rumah anak Wak Sangkut dan Wak Rifah,” terdengar suara Mai, menantunya, dari arah dapur yang pengap.
Mak Inang mengukir senyum semringah mendengar itu. Rasa tak nyaman yang menggiring keinginannya untuk pulang mendadak menguap. Kembali cerita Mak Rifah dan Mak Sangkut tentang Jakarta mengelindap. Gegas sekali perempuan tua itu menyalin baju dan menggedor-gedor pintu kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu dengan mata merah-sembab, muka awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak Inang tak peduli mata mengantuk Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi dan menemaninya keliling Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama ini hanya ada dalam cerita karib sebaya dan pikirannya saja.
Serupa kali pertama Kurti mengantarnya ke muka kontrakan anak lanangnya, seperti itulah keterkejutan Mak Inang saat menjejakkan kaki di kontrakan anak Mak Sangkut dan Mak Rifah. Tak jauh berupa, tak ada berbeda. Kontrakan anak karib-karibnya itu pun sama-sama pengap dan panas. Hal yang membuat Mak Inang meremangkan kuduknya, gundukan sampah berlalat hijau dengan dengungan keras, bau menyengat, tertumpuk hanya beberapa puluh meter saja. Kepala Mak Inang berdenyut-denyut melihat itu. Lebih-lebih saat menghempaskan pantatnya di lantai semen anaknya Mak Sangkut. Allahurobbi, alangkah banyak cucu Mak Sangkut, menyempal macam rayap. Berteriak, menangis, merengek minta jajan, dan tingkah pola yang membuat Mak Inang hendak mati rasa. Hanya setengah jam Mak Inang dan Kurti di rumah itu, berselang-seling cucunya Mak Sangkut itu menangis.
Kebingungan Mak Inang pada orang-orang yang saban waktu datang ke Jakarta untuk mengadu nasib kian besar saja. Apa hal yang membuat mereka tergoda ke kota bacin lagi pesing ini? Segala apa yang ia lihat satu-dua pekan ini, tak ada yang membuat hatinya mengembang penuh bunga. Lebih elok tinggal di kampung, menggarap huma, membajak sawah, mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak Inang.
***
Tangan Mak Inang kembali menekan-nekan tuas pompa, air keruh dengan bau karet yang menyengat kembali berjatuhan ke dalam bak plastik. Kadang besar, kadang kecil, seiring dengan tenaganya yang timbul tenggelam. Lagi, Mak Inang membilas cucian pakaian cucu, menantu, anak lanang, dan dirinya sendiri. Mendadak Mak Inang telah merasa dirinya serupa babu. Di petang temaram bernyamuk ganas, ia masih berkubang dengan cucian. Di kampung, waktu-waktu serupa ini, ia telah bertelekung dan gegas membawa kakinya ke mushola, mendahului muadzin yang sebentar lagi mengumandangkan adzan.
Lampu benderang. Serentak. Seperti telah berkongsi sebelumnya. Berkelip-kelip macam kunang-kunang di malam kelam. Lagi, terdengar suara desingan tajam di atas ubun-ubun Mak Inang. Ia pun kembali mendongakkan wajah, mata lamurnya melihat lampu merah, kuning, hijau berkelip-kelip di langit temaram. Nyamuk-nyamuk pun kian ganas dan membabi-buta menyerang kulit keringnya.
Wajah Mak Inang kian mengelap, hatinya menghitung-hitung angka di almanak dalam benak. Berapa hari lagi menuju akhir bulan? Rasa-rasanya, telah seabad Mak Inang melihat muka Jakarta yang di luar dugaannya. Benak Mak Inang pun hendak bertanya: Mengapa kau tak pulang saja, Mal? Ajak anak-binimu di kampung saja. Bersama Emak, menyadap karet, dan merawat limas. Tapi, mulut Mak Inang terkunci rapat.
Malam di langit ibu kota merangkak bersama muka Mak Inang yang terkesiap karena seekor tikus got hitam besar mendadak berlari di depannya. Keterkejutan Mak Inang disudahi suara adzan dari televisi. Perempuan itu kembali menekan tuas sumur pompa, air mengalir, jatuh ke dalam ember plastik. Ia membasuh muka tuanya dengan wudhu. Bersamaan dengan itu, mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun hendak mencuci muka kotornya dengan wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang telah keriput, mengkerut, dan carut-marut.
SUMBER : GOOGLE, BLOG TETANGGA
*NB : MAAF KALAU DIKIT CERPENNYA :v